ii

Di udara kita menyaksikan salam-salam berbungkus kertas kado keemasan beterbangan—sayapnya dari gula-gula kapas yang menguar dari uap bibirmu saat mengeja gramatika tentang utopia pada turun salju sebelum subuh—menunggu disambut tangan-tangan gadis yang ruang-ruang di antara rusuknya berisi harap-harap yang kekal mengendap.

Segala sintaksis yang dipeluk metafora bergaun satin tersebut lalu kutitipkan saja pada matahari yang membakarnya jadi partikel-partikel abu yang segera membaur di jumantara; mereka hilang dalam makna; mereka ke medan perang dengan sia-sia. Lantas aku hendak berjalan sampai ke kaki malam menengok kembang-kembang di atas makam tempat kukubur rindu semalam, tapi arwahnya keburu terusik lalu menegurku dengan petir dan kilat di wajahnya.

Aku ingin di hadapku kini menjelma pintu rumah, bersegera mendekapmu dengan kata-kata bersimbah gula.


 

Leave a Reply